Kediri – Kasus penahanan dua pemuda asal Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, menyisakan sejumlah kejanggalan. Keluarga salah satu pemuda, Yusril Hamid alias Ucil, mengungkapkan dugaan adanya praktik tawar-menawar uang tebusan yang melibatkan oknum polisi dari Polsek Wates dan Polsek Pare.
Yusril Hamid, warga Dusun Nepen, Desa Plaosan, RT 13 RW 03, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, ditahan pertama kali pada malam tanggal 24 Juli 2025. Sehari kemudian, Mohamad Darmawan alias Kombor, warga Dusun Sukorejo RT 27 RW 05, Desa Wonorejo, Kecamatan Wates, juga ikut ditahan.
Menurut keterangan keluarga, salah satu anggota kepolisian Polsek Wates bernama Kohar, yang juga warga Desa Wonorejo, diduga berperan dalam menyarankan adanya “penebusan” untuk kedua pelaku. Atas arahan Kohar, Kepala Dusun Wonorejo kemudian berkomunikasi dengan Jaenuri, penyidik dari Polsek Pare yang menangani kasus tersebut.
Dalam proses komunikasi itu, disebutkan terjadi tawar-menawar jumlah uang tebusan. Awalnya, muncul angka Rp50 juta, yang dibicarakan dalam sebuah pertemuan di Balai Desa Wonorejo. Dalam pertemuan tersebut hadir beberapa pihak: Bu Desi (polwan asal Desa Plaosan), Kohar (polisi Polsek Wates), Kasun Wonorejo, orang tua pelaku, serta keluarga Yusril.
Keluarga mengaku menerima telepon dari Kohar yang menyampaikan bahwa uang tebusan minimal sebesar Rp15 juta, dengan rincian:
Rp5 juta untuk korban,
Rp5 juta untuk penyidik “karena sudah bekerja keras”,
dan Rp5 juta untuk mencabut laporan yang disebut sudah naik ke pengadilan
Kronologi berlanjut hingga 5 Agustus 2025, ketika keluarga dan perangkat desa dipanggil ke Polsek Pare untuk menghadiri gelar perkara. Namun dalam acara tersebut, Kasun Plaosan yang sebelumnya dilibatkan justru tidak dipanggil. Keluarga mengaku korban sebenarnya sudah benar-benar memaafkan dan telah dibuat surat perdamaian di tingkat desa, tetapi surat tersebut diabaikan oleh penyidik Jaenuri dengan alasan tidak sah.
Keterangan keluarga menyebut bahwa korban bahkan sempat “diminta untuk berpura-pura” meminta ganti rugi sebesar Rp5 juta, hanya sebagai formalitas di depan penyidik, dan uang itu akan dikembalikan setelahnya. Surat perdamaian baru pun disusun oleh penyidik, dengan beberapa poin yang dianggap memberatkan pelaku. Dalam proses itu, ibu Yusril yang sudah lanjut usia mengaku dipaksa membubuhkan cap jempol meski sebelumnya menolak.
Setelah 20 hari masa penahanan, pada 13 Agustus 2025, Yusril dan temannya tetap ditahan, dan keesokan harinya keluarga menerima surat perpanjangan penahanan selama 40 hari.
Pihak keluarga menilai ada banyak kejanggalan dalam proses hukum ini, terutama terkait permintaan uang tebusan dan pengabaian surat perdamaian yang telah disepakati kedua belah pihak. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Polsek Wates maupun Polsek Pare terkait dugaan tersebut.
Pimpinan Redaksi Pena Hukum News, Tony Ahmad, turut menyayangkan dugaan praktik pemerasan sebesar Rp50 juta yang muncul dalam penanganan perkara tersebut.
> “Kami sangat menyayangkan apabila benar terjadi praktik permintaan uang dalam proses hukum. Selain mencoreng integritas aparat, hal ini juga memperlihatkan penanganan perkara yang terkesan berbelit-belit dan tidak transparan,” tegas Tony Ahmad.
Lebih lanjut, Tony Ahmad menyatakan bahwa pihak redaksi akan melaporkan kasus ini secara resmi ke Polres Kediri, Propam Polres Kediri, dan Propam Polda Jawa Timur
Red






