Jakarta — Diskusi rutin Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang biasanya digelar pada Mingguang Senin–Kamis, terpaksa diundur pada Selasa, 21 Oktober 2025, karena keluarga besar Sri Eko Sriyanto Galgendu sedang berduka atas wafatnya Ibu Mertua beliau, Bunda tercinta dari Mbah Ning (Dyah Sutjiningtyas), di Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu, 19 Oktober 2025.
Kendati diundur sehari, forum intelektual yang dikenal sarat gagasan moral dan refleksi kebangsaan ini tetap berlangsung penuh makna di Sekretariat GMRI, dengan membahas beragam isu aktual yang sedang menjadi sorotan publik.
*Diskusi Hangat Soal Pahlawan Nasional: Dari Soeharto hingga Marsinah*
Dalam suasana diskusi yang tetap hangat dan terbuka, hadir sejumlah tokoh dan pengamat sosial seperti Mos Momok bersama komunitasnya, Guntur, dan Joyo Yudhantoro. Tema utama yang mengemuka adalah rencana pemerintah mengangkat beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional, di antaranya Presiden Soeharto dan Marsinah, aktivis buruh yang gugur secara tragis pada masa Orde Baru.
Menurut Joyo Yudhantoro, masih banyak tokoh bangsa yang belum mendapatkan penghargaan layak dari negara, meskipun jasa dan kontribusinya besar terhadap Republik ini. Salah satu nama yang disebut adalah Margono Djojohadikoesoemo (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978), pendiri dan Direktur Utama pertama Bank Negara Indonesia (BNI), sekaligus kakek Presiden Prabowo Subianto.
Margono merupakan sosok ekonom visioner yang memperjuangkan kemandirian ekonomi bangsa dan akses keuangan bagi rakyat pribumi. Ia menggagas lembaga keuangan nasional yang inklusif, yang menjadi cikal bakal berdirinya BNI sebagai bank kebanggaan nasional hingga kini.
> “Pemikiran Margono Djojohadikoesoemo tentang ekonomi kerakyatan dan akses kredit bagi Bumiputra pada masa kolonial merupakan tonggak sejarah penting yang belum sepenuhnya dihargai negara,” ujar Joyo Yudhantoro dalam forum tersebut.
*Refleksi Moral dan Politik Ekonomi*
Diskusi juga menyinggung kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menuai pro dan kontra karena gebrakannya dinilai berani dan berpotensi mengguncang pihak-pihak yang selama ini menikmati praktik korupsi. Beberapa peserta menyebut fenomena itu sebagai “peringatan moral” bagi pejabat publik yang abai terhadap amanah rakyat.
Sri Eko Sriyanto Galgendu menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa pahlawannya, tanpa harus terus memperdebatkan sisi gelap masa lalu.
> “Tidak ada manusia yang sempurna. Namun, menolak jasa pahlawan hanya karena perbedaan politik masa lalu justru menunjukkan kedangkalan moral berbangsa,” ungkap Sri Eko tegas.
*Marsinah dan Soeharto: Dua Kutub, Satu Semangat Bangsa*
Diskusi GMRI juga mengangkat sisi menarik dari dua sosok yang tampak bertolak belakang: Marsinah, aktivis buruh yang gugur memperjuangkan keadilan, dan Presiden Soeharto, penguasa Orde Baru yang kini diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
Bagi para peserta, perdebatan ini tidak semestinya dipandang hitam-putih. Baik Marsinah maupun Soeharto dianggap mewakili dua kutub sejarah yang sama-sama memiliki kontribusi penting dalam perjalanan bangsa: yang satu melawan ketidakadilan, yang lain membangun fondasi ekonomi dan stabilitas nasional.
*Kesimpulan Forum: Menghargai Tanpa Melupakan*
Pada akhir diskusi, forum GMRI sepakat bahwa pemerintah semestinya memiliki kriteria yang lebih objektif dan historis dalam menetapkan gelar Pahlawan Nasional, dengan menimbang kontribusi nyata terhadap bangsa dan negara, bukan sekadar latar politik atau persepsi publik.
Sri Eko menutup diskusi dengan pesan moral yang menggugah:
> “Bangsa yang besar bukan karena banyaknya pahlawan yang dilahirkan, tetapi karena penghargaan yang tulus terhadap jasa mereka yang telah berjuang demi merah putih.”
(Red)






